Sejarah dan Fenomena Tagar (Hashtag)
Pada awalnya orang-orang yang
tidak terbiasa dengan hashtag akan sedikit merasa terganggu dengan keberadaan
hashtag. Namun jika saja kalian tahu fungsinya yang luas, maka akan memaklumi
hal tersebut. Hashtag di media sosial kini telah menjadi kebutuhan. Kita simak
sejarahnya dulu yuk...
- Pada abad ke-12, simbol #
muncul sebagai tanda yang digunakan untuk menaikkan not sebanyak setengah nada.
Kala itu simbol ini disebut #Sharp.
- Pada abad ke-14, singkatan lb
dari libra masuk ke dalam bahasa Inggris. Lama kelamaan lb berubah menjadi #
dan disebut #Pounds
- Pada tahun 1970, seorang
teknisi asal Prancis, Emile Baudot membuat abjad Telegraph pertama. Pada versi
yang digunakan kantor pos Inggris, 11.011 adalah £. Tapi simbol tersebut di
Amerika berubah versi menjadi #. Keduanya disebut #PoundSign.
- Pada pertengahan abad ke-20,
notasi aljabar menggantikan notasi deskriptif dalam catur, # artinya #Checkmate
- Kemudian, pada tahun 1960, para
ilmuwan dari Bell Laboratorium menambahkan simbol # pada papan tombol keyphone
telepon untuk menandakan instruksi pada sistem operasi telepon. Sistem itu
disebut #Oktothorpe.
- Di akhir tahun 1980, simbol #
mulai memiliki beragam makna dalam beberapa bahasa pemrograman. Misalnya #
digunakan dalam bahasa C-like untuk memulai #PreprocessorDirective.
- Pertengahan tahun 2000, simbol
# digunakan dalam jaringan IRC untuk menandakan #Label group dan topic.
- Tujuh tahun kemudian, tepatnya
pada 23 Agustus 2007, Chris Messina (@factoryjoe) menulis tweet pertamanya yang
menyarankan menggunakan simbol #. Tweet tersebut bertuliskan: “How do you feel
about using # (pound) for group. As in #barcamp?”
- Pada 1 Juni 2009, Twitter
hyperlink didahului dengan # dan menjadikannya sebagai fitur resmi. Kemudian
lahirlah #Hashtag.
- Januari 2011, aplikasi berbagi
foto Instagram memperkenalkan fitur #Hashtag.
- Lalu, pada September 2012,
Google+ mengenalkan fitur #Hashtag dalam jaringan sosial miliknya.
- Pada Juni 2013, Facebook juga
meluncurkan fitur #Hashtag.
Di era media sosial seperti
sekarang, membentuk opini publik di dunia maya telah menjadi fenomena yang
cukup serius. Ini bisa kita lihat misalnya, melalui perang tagar yang
seringkali menjadi cara-cara yang cukup jitu dalam menggiring para pengguna
media sosial untuk fokus pada satu opini.
Inilah satu kenyataan aktual yang
harus kita hadapi bersama-sama. Sebab siapapun dapat berpartisipasi secara
aktif sebagai pengguna media sosial. Terlepas dari dampak baik dan buruknya,
fakta membuktikan bahwa ada hal-hal yang terasa mengganjal terkait perang tagar
ini.
Misalnya, prestasi, jika ini
dianggap sebuah pencapaian, dapat dengan mudah diukur melalui seberapa banyak
sebuah statemen di sukai dan disebarluaskan. Tanda pagar seakan menjadi azimat
yang ampuh, sebab jika sebuah pesan dapat disebarkan secara luas, lama-kelamaan
ia akan dipersepsikan sebagai opini yang lalu membentuk kebenaran.
Akhir-akhir ini kita diberi
sajian berita tentang perang tagar antara #2019GantiPresiden dengan
#2019TetapJokowi. Perang tagar ini membuat postingan-postingan yang membahas
tentang salah satu tagar atau pasangan Capres dan Cawapres dibanjiri dengan
beribu komentar antara yang pro dengan yang kontra.
Fenomena perang tagar ini
merupakan sebuah konsekuensi dari sebuah proses demokrasi. Di setiap masa pasti
akan muncul, hanya dengan konsep dan cara-cara yang berbeda. Jadi tidak usah
panik dan membabi buta saling serang satu sama lain. Jadilah simpatisan yang
cerdas, masin politik, anak-anak bangsa yang berjiwa besar dan patriotik.
Bayangkan saja, jikalau budaya
bar-bar ini terus kita lanjutkan, kita besar-besarkan, kita lestarikan, bahkan
kita wariskan. Saya khawatir, di momen-momen berikutnya, perang tagar ini akan bertransformasi
menjadi perang saudara yang mengerikan, dimana satu dengan yang lain menjadi
terminator bagi yang lain, homo homoni lupus, hanya karena satu momen pemantik,
yaitu Pemilu.
Sekian
Semoga bermanfaat
Komentar
Posting Komentar